
Menuju Pengelolaan Hiu dan Pari Secara Berkelanjutan Berbasis Ilmiah
Karakteristik biologi ikan hiu dan pari (elasmobranchii) antara lain adalah mempunyai fekunditas relatif rendah, usia matang seksual lama dan pertumbuhannya yang lambat. Dengan mempertimbangkan kepentingan pemanfaatan oleh masyarakat maka pendekatan pengelolaan yang lestari merupakan pilihan yang direkomendasikan, dengan melakukan upaya konservasi dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya sehingga dapat memberikan manfaat secara berkesinambungan. Rencana Aksi Nasional atau National Plan of Action (NPOA) sangat penting sebagai pedoman dasar dalam pengelolaan hiu dan pari di Indonesia. Untuk mendukung rencana tersebut, perlu adanya payung hukum yang dapat dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Evaluasi terhadap pelaksanaan setiap langkah pengelolaan perlu dilakukan secara berkala dan transparan. Kesadaran dan kemauan bersama dapat menyelamatkan sumber daya hiu dan pari yang terancam punah, serta komitmen dari semua pihak melalui sistem penganggaran dan program keberlanjutan sehingga pengelolaan hiu dan pari di Indonesia dapat berjalan baik. Indonesia telah mengembangkan Rencana Aksi Nasional (RAN) atau National Plan of Action (NPOA) hiu dan pari sejak tahun 2010. Dalam NPOA pertamanya dalam kurun waktu lima tahun (2010-2015) Indonesia telah membuktikan keseriusannya, dimana telah menghasilkan beberapa kebijakan dalam rangka pengelolaan hiu dan pari seperti penetapan perlindungan penuh Hiu Paus (2013) dan Pari Manta (2014) Dalam periode keduanya, pada tahun 2016-2020 dengan merumuskan sembilan strategi utama yang dibuat berdasarkan hasil evaluasi periode sebelumnya. Selanjutnya NPOA tersebut disusun juga untuk menunjukan konsistensi Indonesia dalam komitmennya pada dunia Internasional untuk pengelolaan hiu dan pari.
Kelompok ikan bertulang rawan ini telah menjadi isu internasional sejak tahun 2013, setelah masuknya beberapa species hiu dan pari manta dalam apendiks II CITES. Hal ini berkaitan dengan tingginya tingkat eksploitasi terhadap berbagai jenis hiu dan pari, baik sebagai tangkapan target maupun tangkapan sampingan (bycatch). Eksploitasi hiu di Indonesia pada umumnya dilakukan di daerah-daerah potensial pelepasan anakan hiu (nursery ground), yaitu di kawasan terumbu karang, di perairan pantai yang dangkal, atau wilayah estuari di mana perairan tersebut merupakan tempat mencari makan (feeding ground). Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan populasi hiu dan pari secara cepat dan memerlukan waktu lama untuk pulih kembali.
Tantangan yang klasik dalam sebuah pengelolaan spesies adalah masih terbatasnya informasi ilmiah terkait sumber dayanya yang menjadikan penyebab sulitnya melakukan upaya konservasi serta pengelolaan untuk lebih maksimal. Ditambah lagi masih belum populernya penelitian hiu dan pari di kalangan peneliti di Indonesia menjadikannya sala satu tantangan besar dalam mengisi gap dari ketersediaan data. Simposium hiu dan pari pertama ditahun 2015 telah memberikan rekomendasi kebijakan yang bermanfaat hingga saat ini melalui policy brief yang telah dihasilkan seperti 1) pembentukan POKJA hiu dan pari yang salah satu tugasnya melakukan pendataan jenis hiu dan pari bernilai penting, serta memfasilitasi peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam sistem pengumpulan data; 2) memperkuat sistem ketelusuran (traceability) produk hiu dan pari, serta pengembangan panduan praktik terbaik dalam mendorong pengembangan ekowisata hiu dan pari sebagai alternatif pemanfaatan kedua satwa tersebut; dan 3) Mendorong adanya perlindungan habitat penting. Rencana penyelenggarakan forum ilmiah kembali di tahun 2018 ini selain bertujuan untuk mengumpulkan hasil-hasil penelitian tentang sumber daya hiu dan pari terbaru yang dilakukan di Indonesia, namun diharapkan juga menjawab kebutuhan-kebutuhan pengelolaan hiu terutama yang telah terancam punah didalam IUCN ataupun menjadi perhatian ditingkat internasional seperti CITES dan RFMO.
Link Lengkap :
http://www.srs-indonesia.org/